SISTEM KOMUNIKASI DALAM NASKAH MAKUDANG-KUDANG DRAMA BALI
Keywords:
sistem komunikasi, konteks budaya, konteks situasiAbstract
Masyarakat Bali berdasarkan latar belakang kehidupan pada jenjang lokal yang bermatra kebangsaan (nasional) dan kesemestaan (modial) selalu menjunjung tinggi serta memiliki daya waris yang kuat pada generasi-generasi kini di tengah-tengah terjadinya transformasi budaya global. Tumpuan utama kekuatan kekuatan daya waris itu terletak pada kekuatan internal budaya masyarakat Bali yang bersumber dari (1) agama Hindu, (2) akar tradisi, (3) nilai cipta seni, dan (4) sistem sosial masyarakat Bali. Aktualisasi kebudayaan Bali dapat dibentuk, dibina, dikembangkan, dan diwariskan merupakan satu hal yang dapat dilaksanakan dengan cara kodifikasi dan komunikasi (bahasa). Pentingnya komunikasi dapat mentransfer kandungan pikiran seseorang kepada pihak lain. Kebermaknaan komunikasi adalah sebagai pembawa pesan penutur kepada lawan tutur. Konvensional bahasa tidak hanya merujuk kepada kaidah-kaidah gramatikal, tetapi banyak juga karena pengaruh luar bahasa; seperti budaya dan konteks situasi. Kesesuaian komunikasi harus memperhatikan hubungan peran serta latar dan waktu terjadinya komunikasi. Interaksional tuturan melibatkan kesesuaian hubungan peran dan makna gagasan (Azies dan Alwasilah, 1996:8—14). Jaringan komunikasi merupakan hubungan komunikasi ke berbagai arah yang diciptakan oleh penutur terhadap lawan tutur. Jaringan komunikasi itu bisa ke arah vertikal ke atas dan vertikal ke bawah. Jaringan komunikasi yang terjadi antrasesama penutur yang memiliki status sosial atau derajat yang sama dalam artikel ini disebut jaringan komunikasi horizontal. Jaringan komunikasi vertikal dan horizontal seprti yang dibicarakan di atas itulah yang menjadi sentral pembahasan dalam artikel ini, yang dilakukan terhadap naskah makudang-kudang drama Bali. Dalam naskah itu penulis berasumsi terdapat kelebatan warna komuniukasi baik secara horizontal maupun secara vertikal. Kerangka teori kedwibahasaan yang dipakai mengacu kajian ini adalah teori kedwibahasaan yang diungkapkan oleh Haugen dengan rumusan konsep yang paling longgar. Rumusan Haugen (1972c:309) tentang kedwibahasaan adalah para dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa, cukup dengan penguasaan pasif, yaitu mengerti apa yang dikatakan orang lain dengan bahasa kedua meskipun ia sendiri dapat berbicara secara baik dengan lawan tutur. Interaksi verbal yang terjadi antarpenutur dalam dialog-dialog yang terdapat dalam naskah drama yang diteliti dipandang juga dari sudut semiotik sosial. Semiotik sosial yang diungkapkan oleh Halliday dan Ruqaya Hasan (1985:4) adanya hubungan antara pemilihan (ragam) bahasa yang disesuaikan dengan cara berbahasa dan pemaknaanya; yang secara bersama-sama membentuk budaya manusia (bahasa). Wacana merupakan tempat organisasi bentuk sosial ikut serta dengan sistem tanda di dalam memproduksi seperangkat makna dan nilai yang menyusun budaya (Kress, 1991:5—6).